Rabu, 14 Desember 2011

Yogyakarta Disebut Kota Pendidikan, Mengapa?


Tulisan berikut ini adalah tulisan dari seorang sepuh mantan pejabat tinggi di PemDa DIY yang memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan (atau budaya pemondokan mahasiswa?) di Yogyakarta sejak awal kemerdekaan hingga perbandingannya dengan perkembangan terkini.

Saat Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertahta di Ngayogyakarta Hadiningrat, mengikuti bunyi Kontrak Politik dengan Gubernmen di tahun 1940, Pepatih Dalem digaji oleh Belanda. Hal ini sesungguhnya dirasakan keberatan bagi pemikiran Sultan. Sehingga maka ketika Jepang masuk ketika Perang Dunia II, Gusti Patih itu lalu dipensiun oleh pihak Kasultanan. Jadi saat jaman Jepang tersebut Kepatihan kosong tiada yang mengurus (=komplang). Ngarso Dalem memegang urusan pemerintahan tanpa Patih. Ngarso Dalem selanjutnya setiap hari berkantor di Kepatihan. Inilah jamannya seorang Raja merangkap tugas sebagai Patih. Dan memang pada dasarnya Ngarso Dalem Sri Sultan IX itu adalah keluaran Leiden Universiteit di negeri Belanda, mendalami ilmu yang dinamakan: Indologi, yaitu ilmu pemerintahan ala kerajaan-kerajaan timur (Asia). Sehingga dalam pemerintahan tersebut bagi Ngarso Dalem yang menangani tanpa bantuan Patih sekalipun, tidak akan kewalahan. Malahan sejak dari saat itulah wujud pemerintahan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi modern. Ngarsa Dalem membentuk kabinet. Tugas yang dilakukan Patih dibagi-bagi: ada Kapanitran (kantor Sekretariat), ada Bagian Umum, perekonomian, Pekerjaan Umum (PU), Wiyatapraja (Pendidikan-pengajaran-kebudayaan), Pariarta (Keuangan), Racana dan Pencarwara. Semua sebagaimana halnya kementerian dan disebut dengan Paniradya (tangan pemerintahan). Menteri-menteri dinamakan Paniradyapati.
Tentara Jepang yang menduduki Yogyakarta, sepertinya tidak terlalu peduli terhadap bagaimana jalannya pemerintahan Kasultanan, kecuali sekedar tetap menghargai. Namun bila terhadap Pakualaman seperti merendahkan. Praja Pakualaman di Adikarto dianggap sepele. Sehingga karena tanggapan tentara Jepang yang seperti itu, Kanjeng Gusti Paku Alam VIII lalu menghubungi dan bilang ke Ngarso Dalem, bila berkenan Pakualaman dikembalikan, kembali bergabung dengan Kasultanan. Akhirnya Ngarso Dalem Sultan menyetujui.. Maka dari itu Kanjeng Gusti Paku Alam lalu mengikuti (langkah) Sultan, berkantor setiap hari di Kepatihan, mendapat tugas mengurusi dan mengatur pertanahan se-Kasultanan dan Adikarto semua.
Ya dua penjabat bangsawan tertinggi (priyagung) yang setiap hari bertemu di Kepatihan inilah, yang selanjutnya sependapat, untuk menggabungkan Yogyakarta dengan Negara Kesatuan RI setelah mendengar akan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Menanggapi kehendak para petinggi berdua dari Yogyakarta ini, Bung Karno sebagai dan selaku Presiden RI memberikan ketetapan bahwa Yogyakarta dijadikan Daerah Istimewa, bagian dari NKRI.
Diibaratkan nginanga durung abang, idua durung asat (mengunyah sirih belum menjadi merah, meludah belum kering; ibarat untuk saat yang sekejap), setelah Bung Karno menetapkan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, Jakarta diduduki tentara Sekutu (gabungan militer Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, dan termasuk Belanda) yang saat itu menjadi pemenang Perang Dunia II. Tentara Sekutu tersebut setelah menjatuhkan bom atom di Hiroshima-Nagasaki, lalu menduduki Indonesia. Jepang kalah dan menyingkir. Tentara Sekutu lalu membentuk Pemerintahan sipil di Jakarta, niatnya mau mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia sebagai pemerintahan penjajahan. Bung Karno beserta Perangkat Pemerintahan RI semuanya yang baru saja berdiri setelah Proklamasi, lalu hijrah ke Yogyakarta. Seketika itu juga Yogyakarta menjadi ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Perguruan Gadjah Mada
Dikarenakan kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, meskipun kotanya sendiri hanya kecil, namun seketika akhirnya menjadi “besar”. Para pemimpin dan para pejuang kemerdekaan se-Indonesia, hadir tiba memenuhi Yogyakarta. Tahun 1948 Yogyakarta diserbu Belanda lalu diduduki. Kota Yogyakarta dan sekelilingnya terbakar membara menjadi medan pertempuran. Para pejuang kemerdekaan Indonesia menghimpun dan menghentakkan (ngetog) kekuatan mengusir kekuasaan penjajah. Meskipun di waktu siang tidak terlihat wujud perang dan pertempuran, namun setiap malam para pejuang melakukan perang gerilya. Bung Karno-Bung Hatta, pemimpin kita menjadi tawanan politik, disingkirkan oleh pihak Belanda. Selanjutnya selain itu para pejuang banyak yang menyembunyikan diri di wilayah pedesaan, ada yang di gunung-gunung. Semuanya terjun menjadi pejuang bersama dengan para pemuda dan rakyat. Banyak pemimpin, para menteri yang menyamar menjadi penjual minuman, memikul gaplek. Bermacam-macamlah caranya, namun bila malam tiba mereka membawa bilah-bilah bambu runcing, membunuh serdadu Belanda. Hingga sampai tiba waktunya meletus Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang akhirnya Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia.
Ringkas cerita, saat Pemerintahan Indonesia sudah dapat berdiri kembali, tidak ada gangguan dari kaum penjajah, ibukota RI kembali ke Jakarta. Kota Yogyakarta pulih seperti sedia kala. Sebagai pengingat dan penghargaan terhadap Yogyakarta yang telah menjadi pusat perjuangan kemerdekaan Indonesia, bertahun lamanya berjuang hingga sampai dengan terlaksananya Konperensi Meja Bundar: Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, keadaan menjadi tenang; Pemerintah RI membina peninggalan berupa monumen hidup Universitas Gadjah Mada, didirikan 19 Desember 1949. Kampus pertamanya diberikan pinjaman kagungan Dalem (milik beliau Sultan) Pagelaran dan Sitihinggil Kraton Alun-alun Lor. Para pemimpin, para pejuang yang rata-rata masih muda, pelajar yang putus sekolah sejak dari jaman Jepang, lantas memenuhinya untuk melanjutkan sekolahnya di Gadjah Mada. Dasar memang masih muda, dan baru saja berjuang di medan pertempuran; para mahasiswa saat itu kuliah masih membawa pistol, dengan guru/dosen dan guru besar mereka, tidak basan-binasan (dalam bahasa Jawa ada tatacara bahasa yang berbeda untuk yang lebih tua/dihormati). Namun eloknya, juga tidak terus pada semaunya sendiri. Kedisiplinan sangat ditaati. Sehinggameskipun saat itu peralatan studi juga hanya seadanya, namun demikian banyak yang dapat menyelesaikan belajarnya itu.
Pelajaran Kewiraan
Ada kelebihannya perguruan tinggi Gadjah Mada itu mengajarkan apa yang disebut dengan mata kuliah Kewiraan. Mata pelajaran ini diberikan di Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik) yang bertempat di Pagelaran dan Sitihinggil Kraton. Jaman itu negara kita memang masih baru, negara kebangsaan republik Indonesia. Sebelumnya di Nusantara telah banyak ada negara dan tata-kenegaraan, namun sejak dulu barulah berbentuk kerajaan/kraton (monarchi), bukan republik demokrasi. Meski demikian ilmu ketatanegaraan juga sudah ada, sebagaimana yang dipelajari oleh Ngarso Dalem IX, pengetahuan Indologi. Gadjah Mada sesungguhnya mengemban tugas menyiapkan tenaga-tenaga (SDM) yang harus mampu menjalankan pemerintahan NKRI. Maka pelajaran Kewiraan yang ditangani Prof. Mr. Hardjono merupakan persiapan bagi lahirnya para pejabat negara yang memahami tatakenegaraan. Fakultas HESP tidak hanya mampu meluluskan juris (ahli hukum), ekonom (ahli ekonomi), sosioloog (ahli sosial) serta politisi (ahli politik), namun juga para ahli tersebut diharapkan memiliki jiwa watak negarawan. Tenaga negarawan ini sangat dibutuhkan oleh NKRI. Sedangkan pelajaran/ilmu Kewiraan sendiri berisi mengenai etika yang harus dipegang erat oleh para negarawan. Milikilah watak “priayi”. Memang kata ”priayi” itu seringkali mengandung arti yang kurang baik. Misalkan pejabat negara yang kebetulan rajanya angkara murka. Umumnya pejabat negara itu lalu juga memiliki watak angkara. Namun sesungguhnya yang diambil peran dalam watak kepriyayian itu terletak pada keluhuran budi. Seperti misalnya tokoh Kumbokarno, harus dapat memisahkan bahwa watak wirya itu bukan asal setia. Yang diabdi bukanlah pangkat atau pemberian gaji yang diberikan oleh Pemerintah, namun mengabdi kepada negara, mengabdi kepada kebenaran, tegaknya keadilan. Maka dari itu Kumbokarno bukanlah membela Dasamuka (Rahwana) yang angkara murka.
Di jaman tahun 50-an 60-an, lulusan Gadjah Mada sudah cukup banyak yang terlihat menonjol. Kebanyakan mereka memegang jabatan di pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Banyak yang akhirnya menjadi bupati, walikota, menjadi pejabat atau Kepala Dinas, anggota DPR, DPRD dan sebagainya. Jaman itu KAGAMA (Keluarga Alumni UGM) sudah tersebar di mana saja, hampir setiap propinsi di Indonesia ada KAGAMA. Itu berarti lulusan Gadjah Mada pada jaman itu termasuk laris. Memang hingga sampai tahun 1970-an saja, PemDa Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI; bila mencari calon PNS pesan ke Yogya. Pemerintah DKI dan Pemda2 itu sering berhubungan dengan Pemerintah DIY berhubungan dengan urusan kepegawaian itu. Dikatakan bahwa tenaga-tenaga lulusan Yogyakarta umumnya dapat dipercaya, serta tidak pernah menuntut minta ini minta itu. Yang dari lulusan lain memang pandai-pandai, namun banyak menuntut; rumah dinas, kendaraan dinas, gaji harus sekian, dan seterusnya. Berbeda halnya dengan lulusan Yogyakarta, kebanyakan pada nrimo ing pandum (dapat memahami-memaklumi-menerima apa yang menjadi bagiannya). Itu di jaman tahun 70-an.
Pondokan
Ketika para pejabat pemerintahan se-Indonesia be-reuni tahun 70-an-80-an, tak henti saling mengobrol. Kebanyakan mengaku bahwa Almamater (ibu pengasuh yang turut membimbing) hingga akhirnya kini bisa pada menjadi pejabat tinggi itu, bukan hanya kampus Gadjah Mada belaka, namun juga yang menjadi pondokan tempat tinggalnya dulu. Demikianlah mereka membuka diri. Pelajar/mahasiswa dari luar daerah/luar Jawa yang tinggal mondhok/berasrama di Yogya sejak tahun 1950-an hapal dengan awal syair lagu Sepasang Mata Bola : Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba, … Itu nyanyian jaman perjuangan dulu yang dinyanyikan para gadis yang menunggu tibanya kereta di stasiun Tugu, menanti datangnya para pejuang dari medan pertempuran. Oleh para mahasiswa perantau, nyanyian itu diganti kata-katanya: kalimatnya menjadi : Hampir mati di Yogya, tunggu wesel blum tiba. ..Ibu induk semang memahami, dan menghampiri; “Nak, tidak usah sedih, jangan khawatir. Di sini apa yang dimakan Ibu, ya marilah kita makan bersama. Terlambat sementara waktu itu wajar, jangan dipikirkan. Ibu menunggumu kok belum pulang-pulang. Sampai malam ibu belum bisa tidur. Si anak kos menjawab:”Anu kok bu. Tadi tentir dengan teman-teman.” “Tapi kamu kok pucat. Ke sinilah Ibu keroki. “…Akhirnya (bekas) si anak kos itu menjadi menantunya.
Hal yang demikian itu cukup banyak dijumpai di Yogyakarta pada jaman itu. Setelah lulusan dari Yogyakarta itu pada menjadi pejabat di luar daerah/luar Jawa, memiliki keluarga, setiap liburan menjadi wisatawan, melancong hingga ke Yogya, sekalian menengok tempat kosnya dulu dan jajan di warung langganannya dulu. Beserta anak-istri sekenyangnya di situ, lantas memberikan uang bayaran berlipat dibanding dengan harga yang harus dibayar. Penjualnya kaget. Sang mantan anak kos bilang:”Ini sebagai pengobat rindu, juga untuk membayar saat aku masih mahasiswa sering nggabrul (=makan nggak mbayar) makan rempeyek lima mengaku dua.” Si penjual teringat, lalu menepuk-nepuk punggung si mantan anak kos sembari matanya berlinang-linang karena terharu. “Wah sekarang sudah menjadi orang terpandang. Mobilnya saja mengkilat. Terima kasih ya nak…”
Kebanyakan anak-anak pejabat itu setelah tiba masanya kuliah, juga dikirim oleh orangtuanya untuk kuliah ke Yogya, napak tilas (meneruskan tradisi) orangtuanya. Bila perlu tidaklah mondhok di kos, namun dibuatkan rumah sendiri, diberi pegangan kendaraan mobil, digunakan bersama adiknya, disertai bersamanya seorang pembantu. Yang demikian itu selanjutnya lebih banyak ditemukan. Namun ya di rumah-rumah mewah inilah sering ditemukan praktek “kumpul kebo”, dikarenakan tetangga sekitarpakewuh (enggan-segan) tidak turut peduli mengawasi, karena rumah mewah itu milik pejabat atau orang kaya yang tinggal di Jakarta atau di luar Jawa.
Apa mampu bertahan sebagai kota pendidikan?
Di saat ini, sepertinya Bandung dan Malang akan menggusur Yogyakarta, sebagai kota pendidikan. Malah sekarang sudah banyak perguruan-perguruan tinggi modern tumbuh di kota-kota lain. Bila “kota pendidikan” mengandalkan pada banyaknya tempat-tempat pendidikan, sekolahan, kampus-kampus yang modern dengan perangkat pendidikan yang lengkap dan maju; mungkin saja bisa jadi Yogyakarta tidak dapat mengejar, alias dapat tertinggal. Sedangkan pada tahun 60-an Yogyakarta terkenal menjadi kota-pendidikan, bukan karena lulusan (yang sekedar) cerdas-trampil, namun dalam hal lulusan yang memiliki karakter. Sedangkan karakter atau watak, memang dapat terbina oleh pendidikan yang harus diampu oleh guru yang menurut semboyan Taman Siswa dinamakan dengan pamong (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani). Bukan hanya sekedar cerdas dalam kemajuan ilmu-teknologi. Maka bila Yogyakarta ingin lestari menjadi kota pendidikan sebagaimana pada jaman tahun 60-an, perlu ditanyakan, apakah masih ada pendidikan budi-pekerti luhur yang mengukir watak negarawan terhadap para lulusan perguruan tinggi. Apa kini masih ada pondhokan bagi anak kos yang induk-semangnya sedemikian memperhatikan terhadap anak asuhnya itu? Jaman sekarang orang membuka pondokan=kos bagi mahasiswa-pelajar menyediakan kamar kos hingga sejumlah 16. Apa mampu memperhatikan anak kos sejumlah 16 dengan baik? Menganggap anak kos bagaikan anak atau calon menantu sendiri? Jaman sekarang pikiran kita sudah berbeda. Pikiran bisnis, tidak lagi mengandung dan menjunjung tinggi nilai luhur pendidikan.
-o0o-
Sumber: Djaka Lodang no. 40 tahun XXXVI; Sabtu Wage, 3 Maret 2007

0 komentar:

Posting Komentar